Bernasindo.com, Jakarta — Partai Buruh bakal mendaftarkan gugatan judicial review terkait presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 20 Juli 2023. Hal ini disampaikan kuasa hukum Partai Buruh, Alghiffari Aqsa.
Pria yang pernah menjabat sebagai Direktur LBH Jakarta ini menyampaikan latar belakang Partai Buruh gugatan presidential threshold. Di mana Partai Buruh dikenal militan meminta penghapusan UU Cipta Kerja. Tetapi masalahnya, calon presiden yang saat ini disodorkan semuanya pro cipta kerja.
“Dengan adanya presidential threshold, maka Partai Buruh tidak bisa mengajukan calon presiden yang ingin membatalkan UU Cipta Kerja,” ujarnya. Karenanya, jika presidential threshold dihapuskan, maka Partai Buruh bisa mengajukan calon presidennya sendiri.
Meski presidential threshold sudah 30 kali dilakukan permohonan ke MK, namun Alghif berharap pada permohonan ke 31 yang dilakukan Partai Buruh ini bisa dimenangkan.
Adapun yang membedakan permohonan Partai Buruh dengan permohonan sebelumnya adalah, permohonan kali ini diajukan oleh Partai Buruh yang merupakan peserta pemilu. Tentu dengan argumentasi yang lebih solid.
“Sebelumnya sudah ada judicial review, di mana komposisi hakimnya cukup tipis. Ada hakim yang percaya presidential threshold adalah masalah,” ujarnya.
Ferri Amsari, ahli hukum tata negara yang juga menjadi Kuasa Hukum Partai Buruh menambahkan, presidential threshold adalah upaya menyandera partai lain selain partai parlemen. Sehingga partai tidak bisa bersaing secara sehat dalam pemilu 2024.
“Partai Buruh buruh termasuk yang disandera,” ujar Ferri.
“Kenapa bisa terjadi penyanderaan? Karena pembentuk undang-undang tidak patuh dan tidak taat pada Undang-Undang Dasar, yang menyebut calon presiden dan atau calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilu sebelum penyelenggaraan pemilu,” lanjutnya.
Berdasarkan ketentuan di atas, Partai Buruh berhak secara konstitusional menentukan presiden dan calon wakil presiden. Tetapi kemudian justru membentuk Pasal 222 UU Pemilu, yang berseberangan dengan UUD dengan menyaratkan harus memiliki 20 Persen jumlah kursi DPR atau 25 persen jumlah suara sah nasional di pemilu sebelumnya.
Ini membuat Partai Buruh, juga partai-partai politik pendatang baru dan partai-partai nonparlemen, harus bergabung dengan partai-partai politik penguasa Senayan untuk bisa mengusung calon presidennya.
“Konstruksi ini celaka bagi demokrasi. Kenapa? Ini tidak akan mengubah kepentingan parlemen yang ada saat ini, yang berkaitan dengan pemilu sebelumnya,” ucap Feri.
“Partai yang berwenang mengajukan presiden hari ini akan berputar-putar menjadi partai yang juga akan berhak pada pemilu berikutnya mencalonkan calon presiden,” lanjutnya.
Ferri optimis gugatan Partai Buruh akan dikabulkan. Soal kedudukan hukum, Partai Buruh optimistis memenuhi syarat. Selain sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024, Partai Buruh juga tidak terlibat dalam penyusunan UU Pemilu yang di dalamnya memuat ketentuan presidential threshold.
Selain itu, Partai Buruh juga menemukan celah agar MK mengadili ketentuan yang selama ini MK anggap sebagai ranah pembentuk kebijakan (open legal policy).
MK dianggap telah berubah pandangan dalam menghadapi pasal open legal policy, tercermin dari putusan mereka memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK, Mei 2023 lalu. Padahal itu merupakan ranah open legal policy.
“Dengan demikian, MK wajib pula menafsirkan apakah Pasal 222 UU Pemilu ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Jadi, tidak bisa lagi menghindar dengan alasan open legal policy,” kata Feri.
(Waris)