Bernasindo.com. Jakarta – Sidang gugatan terhadap sejumlah hakim Mahkamah Agung terkait kasus dugaan pemalsuan dokumen dan tindak pidana korupsi kembali ditunda hingga 2 Oktober 2024. Penundaan ini disebabkan oleh ketidakhadiran Tergugat 1-5 yang terdiri dari para hakim Mahkamah Agung. Kuasa hukum penggugat, Richard William, SH didampingi Elsya, SH yang juga diketahui pendiri Gapta Law Office serta pengacara FWJ Indonesia, mengkritik keras ketidakhadiran tersebut, yang dinilainya menghambat proses hukum yang seharusnya berjalan lebih cepat, “Ujar Ricard di PN Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2024)
Sidang kali ini seharusnya mengupas berbagai kejanggalan dalam penerapan hukum, khususnya setelah muncul dua putusan yang bertolak belakang terkait kasus kliennya. Dalam salah satu putusan kasasi, klien Richard William dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang diduga merugikan Negara senilai lebih dari Rp10 miliar. Namun, putusan di tingkat Pengadilan Negeri sebelumnya menyatakan bahwa tidak ada bukti kerugian Negara, bahkan Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menemukan indikasi penyalahgunaan dana.
“Kasus ini sangat aneh. Di tingkat kasasi, klien kami dinyatakan bersalah, padahal di tingkat Pengadilan Negeri tidak ada bukti yang menunjukkan kerugian Negara. Di mana logikanya? Padahal, tidak ada pemasukan negara yang hilang, dan pelapornya pun pihak swasta, bukan pemerintah,” ujar Richard William kepada wartawan usai persidangan ditunda di..
Richard William menyoroti sejumlah pelanggaran dalam penanganan kasus ini, salah satunya adalah keterlibatan seorang hakim yang sebelumnya pernah menangani perkara serupa. Menurutnya, ini jelas melanggar kode etik hakim, yang seharusnya melarang hakim tersebut untuk memimpin sidang kasus yang sama.
Putusan MK dan UU Cipta Kerja Diperdebatkan
Selain menyoroti kejanggalan proses persidangan, Richard juga membahas implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6 Tahun 2024, yang mencabut pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Menurutnya, putusan ini seharusnya memperjelas status hukum yang mengatur bahwa advokat harus melalui proses legalisasi dan registrasi, serta memiliki syarat-syarat yang jelas sebagai seorang profesional hukum.
Namun, Richard menyatakan bahwa hingga saat ini, masih banyak yang belum memahami putusan tersebut, bahkan beberapa bagian dari penerapan UU Cipta Kerja pun masih menimbulkan perdebatan.
“Sejak keluarnya putusan MK, seharusnya sudah jelas bahwa hanya advokat yang terdaftar resmi yang boleh beracara. Tapi, aturan ini tidak banyak disosialisasikan, bahkan oleh Kejaksaan Agung. Ini yang membuat banyak sekali kebingungan di lapangan. Kami ingin ini disosialisasikan agar masyarakat bisa memahami hak dan kewajiban mereka di bawah UU Cipta Kerja,” tuturnya.
Audit Ganda dan Dugaan Pemalsuan Data
Salah satu kejanggalan yang diungkapkan oleh kuasa hukum penggugat adalah adanya dua audit yang berbeda hasilnya. Dalam audit pertama, tidak ditemukan adanya masalah dalam keuangan rumah sakit yang menjadi fokus perkara ini. Namun, audit kedua justru menunjukkan adanya penyimpangan, meskipun tidak dijelaskan dengan detail sumber penyimpangan tersebut.
“Kami menemukan bahwa ada dua laporan audit yang bertentangan. Salah satu audit menyatakan bahwa tidak ada masalah dalam keuangan rumah sakit, sementara audit lainnya justru menyatakan sebaliknya. Kami sudah melaporkan masalah ini ke Polres Jakarta Timur, karena kami menduga adanya pemalsuan atau manipulasi data audit,” ujar Richard.
Dia menambahkan bahwa pihaknya juga menemukan bukti bahwa dokumen-dokumen yang diajukan ke pengadilan berasal dari sumber yang tidak jelas, termasuk bukti transaksi yang tidak sesuai dengan catatan keuangan resmi rumah sakit.
Majelis Hakim Ditantang untuk Transparan
Richard William menegaskan bahwa pihaknya akan terus menuntut transparansi dalam proses persidangan ini. Salah satu keprihatinan utama yang dia ungkapkan adalah mengenai sidang-sidang yang seharusnya terbuka untuk umum, namun menurutnya justru seringkali dilakukan secara tertutup dan tanpa pengawasan.
“Kami menantang majelis hakim untuk bersikap lebih transparan. Sidang ini seharusnya terbuka untuk umum, tapi faktanya, banyak proses yang dilakukan secara tertutup. Masyarakat berhak tahu, dan kami akan meminta media untuk terus mengawal kasus ini. Kami khawatir sudah banyak orang yang menjadi korban dari proses yang tidak transparan ini, dan kami tidak ingin klien kami menjadi salah satunya,” tegas Richard.
Dia juga menambahkan bahwa pihaknya telah menggugat Ketua Pengadilan Negeri Bekasi agar bertanggung jawab atas putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung. Menurutnya, ada dugaan bahwa putusan tersebut tidak diambil sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Sidang Berikutnya 2 Oktober 2024
Sidang selanjutnya dijadwalkan pada 2 Oktober 2024. Jika pada tanggal tersebut Tergugat 1-5, termasuk para hakim Mahkamah Agung, kembali tidak hadir, Richard William memastikan bahwa pihaknya akan mengajukan keberatan secara resmi kepada majelis hakim.
“Kami sudah memberikan kesempatan bagi mereka untuk hadir. Jika pada sidang berikutnya mereka tidak datang lagi, kami akan menyatakan bahwa mereka telah melepaskan hak mereka untuk membela diri. Ini akan menjadi dasar bagi kami untuk meminta majelis hakim memutus perkara ini dengan segera,” kata Richard.
Sidang ini telah menjadi perhatian publik karena dianggap dapat membuka “kotak pandora” terkait dengan praktik-praktik yang tidak transparan dalam peradilan Indonesia, khususnya di Mahkamah Agung. Richard William berharap bahwa proses hukum ini bisa mengungkap lebih banyak masalah di balik layar dan membawa perubahan positif bagi sistem peradilan di Indonesia.
Kasus ini masih terus berjalan, dan berbagai pihak menantikan bagaimana kelanjutan persidangan di tanggal mendatang, di mana banyaknya kejanggalan yang diungkap Richard William telah membuat kasus ini semakin mencuri perhatian.(War)