Bernasindo.com, Jakarta – Sidang praperadilan memunculkan polemik terkait penghentian penyidikan oleh Polda Metro Jaya. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan dari pihak pelapor, terutama karena sebelumnya terlapor sudah dinyatakan sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Penghentian kasus di Jakarta ini dipertanyakan, mengingat proses hukum yang dinilai belum tuntas serta adanya dugaan skenario di balik keputusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 10 Agustus 2024.
Ahmad Yani, S.H., M.H., selaku Kuasa Hukum Pelapor Andi Mulyati, mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses sidang praperadilan yang berlangsung. “Perkara kami diterima, dan terlapor telah dijadikan tersangka, tetapi mengapa di-SP3 oleh Polda Metro Jaya tanpa proses hukum yang jelas, dan kasus ini sudah kadaluarsa,” ujarnya.
Sidang ini terkait gugatan atas Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan suap politik yang melibatkan calon legislatif (Caleg) DPR RI dari Partai Demokrat, NW, untuk daerah pemilihan Jakarta 3. Ahmad Yani menilai adanya skenario dalam proses hukum tersebut.
Andi Mulyati, SE seusai sidang, menyatakan kekecewaannya terhadap putusan hakim yang menyebut kasus tersebut sudah kadaluarsa. “Hakim menjelaskan bahwa gugatan kami diterima dan tersangka sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Namun, mengapa kasus ini di-SP3 oleh Polda Metro Jaya tanpa melalui proses yang jelas? Ini membuat kami merasa bahwa kasus ini belum tuntas,” ujar Andi di lokasi yang sama.
Ahmad Yani, selaku kuasa hukum, juga menyoroti keputusan hakim yang menurutnya tidak sesuai dengan harapan.
“Kami, atas nama klien, merasa sangat kecewa. Mengapa? Karena seharusnya, berdasarkan otoritasnya, hakim memberikan putusan yang sesuai. Namun, setelah kami telaah, kesimpulan dan pertimbangan hukum yang disampaikan majelis hakim terkait kadaluarsa pada 13 Maret 2024 hingga 15 Maret 2024, patut diduga merupakan bagian dari sebuah skenario yang melibatkan KPU, Bawaslu, penyidik, dan Kejaksaan Tinggi,” tegasnya.
Ahmad Yani mempertanyakan alasan Polda Metro Jaya yang menindaklanjuti laporan kliennya, menetapkan tersangka dan memasukkannya ke dalam DPO, namun kemudian mengeluarkan SP3 secara sepihak.
“Kami sangat kecewa. Mengapa? Karena seharusnya kasus seperti ini tidak dapat ditindaklanjuti. Namun, ketika klien kami membuat laporan di Polda Metro Jaya, kasus ini ditindaklanjuti hingga terlapor dijadikan tersangka dan masuk dalam DPO. Bahkan, sempat dilakukan penangkapan di rumah tersangka. Akan tetapi, mengapa SP3 dikeluarkan secara sepihak? Ada apa?” tanyanya.
“Kami meminta kepada masyarakat Indonesia, khususnya para pemerhati hukum dan demokrasi, untuk lebih kritis. Tidak perlu lagi dibuat UU Pemilu yang hanya menghabiskan uang rakyat. UU itu dibuat untuk apa? Untuk menegakkan hukum, tapi kita tahu, di Indonesia, jika tidak viral, tidak ada keadilan. Jika tidak ada uang atau kekuasaan, tidak akan ada keadilan. Kami akan terus mengupayakan terobosan lain untuk menyikapi putusan praperadilan hari ini,” katanya.(war)