Bernasindo.com, Jakarta – Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Kepala SMKN 1 Batam, Lea Lindrawijaya Suroso, kembali Menghadap Kamaruddin Hendra Simanjuntak, SH, MH Untuk pembelaannya,
Kamaruddin Hendra Simanjuntak, menegaskan bahwa dana yang digunakan bukan dana negara, melainkan hasil cashback penjualan buku, yang sudah dikembalikan. Mereka berharap kasus ini ditinjau dengan adil sesuai peraturan yang berlaku. Di Jakarta Barat, pada Rabu, 18 September 2024.
Kepala SMKN 1 Batam, Lea Lindrawijaya Suroso, tengah menghadapi kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan dana di sekolahnya. Ia dituduh melakukan korupsi dalam penggunaan dana yang disebut-sebut sebagai dana negara. Namun, menurut penjelasan Lea dan kuasa hukumnya, Kamaruddin Hendra Simanjuntak, S.H., M.H., tuduhan tersebut dinilai tidak berdasar, terutama terkait penggunaan dana hasil cashback penjualan buku dan kegiatan sekolah lainnya.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri, beberapa saksi dari kalangan guru-guru SMKN 1 Batam memberikan kesaksian. Mereka mengakui adanya tanda terima penerimaan THR dan bukti kegiatan outbound yang memang dilaksanakan selama dua hari. Bukti-bukti lain seperti kuitansi pembayaran kegiatan tersebut juga telah diajukan ke pengadilan. Meski demikian, hakim dalam putusan banding menyatakan bahwa uang yang digunakan berasal dari dana negara, meski Lea dan Kamaruddin berpendapat sebaliknya.
Lea menegaskan bahwa dana yang digunakan bukanlah dana negara, melainkan uang hasil cashback dari penjualan buku. Menurut Kamaruddin, berdasarkan aturan yang ada, uang cashback bukanlah uang negara dan dapat digunakan oleh kepala sekolah untuk keperluan sekolah. Namun, dalam putusan banding, hakim menyatakan bahwa uang tersebut adalah dana negara dan menaikkan hukuman serta jumlah uang pengganti yang harus dibayar.
Menurut Lea, putusan banding tersebut tidak konsisten dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016. Ia juga menyampaikan bahwa jika penggunaan dana tersebut dianggap sebagai korupsi, maka seluruh pihak yang menerima dana, termasuk guru-guru yang menerima THR dan ikut dalam kegiatan outbound, seharusnya juga dijadikan tersangka. “Jika saya dianggap bersalah karena menerima uang tersebut, maka semua guru yang menerima THR dan ikut dalam kegiatan outbound seharusnya juga bersalah. Semua yang mengetahui dan menerima dana tersebut harusnya sama di mata hukum,” ungkap Lea di Jakarta Barat, pada Rabu, 18 September 2024.
Kamaruddin juga menegaskan bahwa kliennya tidak melakukan korupsi, mengingat dana yang digunakan telah dikembalikan. Selain itu, dana tersebut bukanlah dana BOS, tetapi kelebihan dari penjualan buku. Ia menilai ada unsur paksaan dalam tuduhan korupsi terhadap kliennya, sementara tidak ada kerugian negara yang terjadi.
Polemik dan Logika Keuntungan Sekolah
Lea menjelaskan bahwa dana cashback dari penjualan buku justru memberikan manfaat ganda bagi sekolah. Dengan dana tersebut, sekolah mampu membeli dua barang yang dibutuhkan dengan harga satu. “Logikanya, ini menguntungkan negara, karena sekolah mendapatkan dua barang untuk harga satu. Uang tersebut digunakan untuk kepentingan sekolah, bukan untuk kepentingan pribadi,” jelas Lea.
Dalam pembelaannya, Lea juga menyoroti bahwa pemberian THR kepada guru-guru sudah menjadi praktik rutin di banyak sekolah lain. Berdasarkan pemahamannya, pemberian THR dari dana selain APBN atau APBD tidak melanggar aturan. “Setahu saya, THR dari APBN atau APBD memang tidak boleh lebih dari satu kali, tetapi jika THR berasal dari dana SPP atau sumber lain yang sah, tidak ada aturan yang melarangnya,” tambahnya.
Lea juga mempertanyakan mengapa hanya dirinya dan bendahara sekolah yang dihukum, sementara guru-guru yang menerima THR serta ikut dalam kegiatan outbound tidak mendapatkan sanksi. Kamaruddin mempertegas hal ini dengan merujuk pada Pasal 3 UU Tipikor yang menyatakan bahwa setiap orang yang menerima, mengetahui, dan menggunakan dana yang dianggap dana negara seharusnya sama-sama bertanggung jawab di mata hukum.
Pengelolaan SPP dan Permintaan Audit
Lea juga menjelaskan bahwa pengelolaan SPP di sekolahnya dilakukan dengan transparan. Dari total siswa yang ada, tidak semuanya membayar penuh, dan sebagian diberikan keringanan atau beasiswa. Dari total perkiraan SPP sekitar 28 miliar, hanya sekitar 25 miliar yang masuk ke rekening sekolah, dengan selisih yang berasal dari siswa yang tidak membayar atau menerima keringanan.
Sebagai kepala sekolah, Lea menegaskan bahwa ia telah mengingatkan bendahara dan staf sekolah agar dana BOS dan dana negara lainnya digunakan dengan benar dan tidak salah pelaporan. Namun, dalam kasus ini, yang dipermasalahkan adalah dana dari cashback buku dan SPP, yang menurutnya bukan merupakan dana negara.
Lea dan tim kuasa hukumnya juga telah mengajukan permintaan audit ke inspektorat sebelum kasus ini mencuat, untuk memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan dana di sekolah. Namun, permintaan tersebut tidak ditanggapi hingga akhirnya kasus ini dibawa ke ranah hukum. Menurut Lea, selama ini laporan keuangan sekolah, baik terkait dana BOS maupun SPP, selalu diperiksa secara rutin oleh tim BOS Kepri dan inspektorat daerah.
Kamaruddin menekankan bahwa kliennya telah berusaha menjalankan tugasnya dengan baik sebagai kepala sekolah, termasuk memastikan bahwa semua dana yang digunakan telah dikembalikan. Namun, dalam kasus ini, ia merasa bahwa kliennya dipaksa untuk menerima tuduhan korupsi yang tidak sesuai dengan fakta dan peraturan yang ada. “Kami berharap agar kasus ini ditinjau kembali melalui Peninjauan Kembali (PK), karena klien kami tidak bersalah. Dana yang digunakan bukanlah dana negara, dan semua telah dikembalikan,” ujar Kamaruddin di lokasi yang sama.
Kasus ini mencerminkan adanya celah dalam sistem hukum, terutama terkait pengelolaan dana sekolah dan transparansi penggunaan dana publik. Pembelaan Lea dan Kamaruddin berharap agar pengadilan dapat memberikan putusan yang lebih adil, serta memastikan bahwa semua pihak yang terlibat diperlakukan sama di mata hukum.(waris)